Rabu, 01 Desember 2010

Penyakit Kawasaki Pada Anak

Definisi :

Penyakit Kawasaki adalah demam pada anak yang berkaitan dengan vaskulitis terutama pembuluh darah koronaria serta keluhan sistemik lainnya.1

Epidemiologi :

Penyakit Kawasaki tersebar seluruh dunia yang mengenai seluruh etnik terutama ras Asia.1 Di AS pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 4248 pasien rawat inap dengan Penyakit Kawasaki.1,2 Anak laki-laki lebih sering terkena dari perempuan. 3 Di Indonesia diperkirakan sudah ditemukan lebih dari 100 kasus terutama di daerah Jabotabek.4 Advani dkk pada tahun 2005 melaporkan seri kasus pertama Penyakit Kawasaki di Indonesia pada symposium Internasional Penyakit Kawasaki ke VIII di San Diego,Amerika serikat. Sejak itu Indonesia secara resmi masuk dalam peta penyakit Kawasaki dunia.4 Penyakit Kawasaki pada umumnya ditemukan pada anak balita, 80% ditemukan pada anak dibawah 4 tahun dan jarang pada usia dibawah 3 bulan atau lebih 8 tahun. Usia tersering adalah 1-2 tahun.4

Etiologi :

Hingga saat ini penyebab pasti belum dapat diketahui, meskipun gambaran klinis, laboratorium, epidemiologi mengarah kepada penyakit infeksi. 1,2 Diduga penyakit ini dipicu oleh gangguan imun yang didahului oleh proses infeksi.4

Manifestasi klinis :

Fase Akut (10 hari pertama )

A. Enam gelaja diagnostik

1. Demam tinggi mendadak, tidak respon dengan antibiotika, dapat berlangsung 1-2 minggu bahkan bisa 4-5 minggu. Dalam 2-5 hari demam gejala lain akan muncul.
2. Konjunctivitis bilateral tanpa eksudat.
3. Bibir merah terang kemudian pecah dan berdarah, lidah merah (strawberry tongue) dan eritema difus pada rongga mulut dan faring.
4. Edema yang induratif dan kemerahan pada telapak tangan dan telapak kaki, kadang terasa nyeri.
5. Eksantema berbagai bentuk (polimorfik), dapat di wajah , badan dan ektremitas. Sering menyerupai urtikaria dan gatal, dapat seperti makula dan papula sehingga menyerupai campak.
6. Pembesaran kelenjer getah bening leher (cervikal) dijumpai sekitar 50% penderita, hampir selalu bersifat unilateral dan berukuran > 1,5 cm.

B. Tanda dan gejala lain yang mungkin dijumpai :

· Piuria steril (pada 60% kasus)
· Gangguan fungsi hepar ( 40%)
· Artritis sendi besar (30%) dapat juga sendi kecil
· Meningitis aseptik (25%)
· Nyeri perut dengan diare (20%)
· Hidrops kandung empedu dengan ikterus (10%)

C. Kelainan kardiovaskuler yang mungkin timbul :

Takikardi, irama derap, bising jantung, kardiomegali, efusi perikardium, disfungsi ventrikel kiri, perubahan EKG, (PR interval memanjang, voltase QRS rendah, ST depresi/elevasi, QTc memanjang). Kelainan arteri Koroner mulai terjadi pada akhir minggu pertama hingga minggu kedua


Fase Subakut ( hari 11-25 )

· Deskuamasi ujung jari tangan dan kemudian diikuti jari kaki (karakteristik).
· Eksentema, demam dan limfadenophati menghilang.
· Perubahan kardiovaskuler yang nyata mungkin timbul : dapat terjadi dilatasi / aneurisma, efusi perikardium, gagal jangtung dan infark miokard. Jumlah trombosit meningkat, dan dapat mencapat lebih dari 1.000,000/ mm3

Fase Konvalesen ( 6-8 minggu dari awitan )

Pada fase ini laju endap darah dan hitung trombosit mencapai nilai normal kembali, dapat dijumpai garis tranversa yang dikenal dengan Beau’s line. Meskipun anak tampak menunjukkan perbaikan klinis, namun kelainan jantung dapat berlangsung terus.

Diagnosis :

Diagnosisi Penyakit Kawasaki didasarkan kepada gejala klinis semata. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang dapat memastikan diagnosis. Terdapat 6 kriteria gejala diagnostik :

1. Demam remiten dapat mencapai 41O C dan berlangsung > 5 hari.
2. Infeksi konjunktiva bilateral (tanpa eksudat).
3. Kelainan di mulut dan bibir : lidah Strawberry, rongga mulut merah difus, bibir merah dan pecah.
4. Kelainan tangan dan kaki, eritema dan edema pada fase akut serta deskuamasi ujung jari tangan dan kaki pada fase subakut.
5. Eksantema yang polimorfik.
6. Limfadenopathi servikal unilateral.

Pemerikasaan penunjang :

Laboratorium :

· Lekositosis pada fase akut dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis.
· Anemia normositik normogrom.
· Peningkatan reaktan fase akut : CRP (C Reactive Protein), laju endap darah.
· Trombositosis di jumpai pada fase akut bisa > 1.000.000/mm3.
· Piuria.
· Peningkatan trasaminase serum (enzim hati), hiperbilirubinemia ringan, peningkatan gamma glutamyl transpeptidase.
· Hipoalbuminemia pada kasus berat.
· Peningkatan enzim miokardium seperti Creatine Phospokinase MB menunjukan
· infark miokard 1,2


Rontgen thoraks :

Biasanya tidak banyak memberi informasi, dapt ditemukan kardiomegali jika terjadi miokarditis atau kelainan arteri koroner atau regurgitasi katup yang berat, 2,4

EKG :

Harus dilakukan saat diagnosis ditegakkan. EKG dapat menunjukkan gambaran voltage QRS rendah, perubahan gelombang ST elevasi atau depresi, QTc memanjang, Gelombang Q yang abnormal.4

Ekokardiografi :

Pemeriksaan ini mutlak perlu dilakukan untuk melihat kelainan arteri koroner dan disfungsi jantung yang lain. 4

Penatalaksanaan :

Semua pasien dengan Penyakit Kawasaki fase akut harus menjalani tirah baring dan rawat inap. Selama fase akut aspirin dapat di berikan 80-100 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis terbagi dan imunoglobulin intravena 2 gr/kgbb dosis tunggal diberikan selama 10-12 jam.2,4 Lamanya pemberian aspirin bervariasi, pengurangan dosis dilakukan 48-72 jm bebas demam, beberapa klinisi memberikan aspirin dosisi tinggi sampai 14 hari sakit dan 48-72 jam setelah demam hilang.2 Dosis rendah aspirin 3-5mg/kgbb/hari dan dipertahankan hingga pasien tidak menunjukan perubahan arteri koroner dalam 6-8 minggu onset penyakit.2 Steroid digunakan untuk Penyakit Kawasaki bila terdapat kegagalan respon dengan terapi inisial. Regimen steroid yang umum diberikan methylprednisolon intravena 30mg/kgbb selama 2-3 hari diberikan sekali sehari selama 1-3 jam. 2,4

Prognosis :

Penyembuhan biasanya sempurna pada penderita yang tidak menderita vaskulitis koroner. Serangan kedua jarang sekali terjadi. Angka kematian Penyakit Kawasaki di jepang 0,08% - 1-2%. Semua anak yang menderita Penyakit Kawasaki meninggal karena komplikasi jantung, biasanya dalam 1-2 bulan sejak timbulnya penyakit. Aneurisma koroner dapat dijumpai pada sekitar 20-49% kasus dan kurang dari 5% menjadi infark miokard. 2,4

Kepustakaan :

1. Rowley AH, Shulman ST, Kawasaki Disease in Behrman RE, Kliegman R, Arvin AR editor, nelson texbook of Pediatrics 17th edition, Philadelphia 2004: 823-4
2. Newburger JW, et al, Diagnosis, treatment and long term Managementof Kawasaki Disease. A statement for health professionals from the Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis and Kawasaki disease. Council of cardiovascular Disease in the young. American Heart Association , 2004
3. Parillo S. Pediatrics Kawasaki Disease, Medicine 2008 diunduh dari http://www.edmedicine.com
4. Advani N. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit kawasaki dalam Buku Naskah Lengkap: Hot Topics in pediatrics IDAI cabang Kalimantan Timur 2006

Vitamin D Tekan Risiko Kanker Payudara

SUATU riset terbaru mengindikasikan bahwa peningkatan konsumsi vitamin D melalui asupan makanan dan paparan terhadap sinar matahari berkaitan dengan berkurangnya risiko kanker payudara.

Seperti dilaporkan American Journal of Epidemiology, Senin (20/10), pemberian vitamin D dapat menekan kehadiran hormon reseptor kanker, yakni reseptor estrogen (ER) dan reseptor progesteron (PR).

Hormon reseptor dapat dianalogikan sebagai telinga dalam sel payudara yang akan mendengarkan sinyal dari hormon. Ketika sinyal memerintahkan tumbuh, sel kanker akan berkembang pada sel payudara yang mengandung reseptor.

Kanker akan disebut ER-positive ( ER+ ) apabila penyebab berkembangnya adalah akibat adanya reseptor untuk hormone Estrogen. Sementara itu, bila penyebab berkembangnya adalah adanya reseptor untuk hormon progresteron, disebut PR-positive (PR+).

Riset yang mengaitkan asupan vitamin D dengan kehadiran hormon reseptor itu dilakukan oleh Blackmore KM dan rekannya dari Mount Sinai Hospital di Ontario, Kanada.

Riset dilakukan dengan cara membandingkan 758 penderita kanker payudara dan 1.135 partisipan kontrol yang tidak mengidap penyakit tersebut. Para peneliti menemukan bahwa partisipan yang asupan vitamin D-nya tinggi mengalami 26 persen penurunan risiko kanker payudara ER dan PR, dan 21 persen penurunan risiko tumor ER atau PR.

Studi tersebut juga mengindikasikan bahwa vitamin D berkaitan dengan pengurangan risiko kanker payudara tanpa mempedulikan apakah status tumornya ER atau PR.

Vitamin D ditemukan pada jenis makanan, seperti minyak ikan, makanan yang difortifikasi, seperti jus, sereal, dan susu, serta diperoleh dengan cara lain, seperti paparan terhadap sinar matahari.

Tips: Wortel Cegah Stroke

WORTEL tidak hanya mengandung vitamin A yang baik untuk mata. Lebih dari itu. Wortel yang mengandung banyak gizi dan mineral dapat mencegah stroke.



Wortel dikenal memiliki kandungan vitamin A yang sangat tinggi. Wortel memiliki unsur lain seperti kalori, protein, hidrat arang, kalsium, dan besi. Wortel adalah tumbuhan yang ditanam sepanjang tahun dan dapat tumbuh pada semua musim, terutama di daerah pegunungan yang memiliki suhu udara dingin dan lembap. Wortel merupakan sayuran yang mudah didapatkan dan manfaatnya sangat banyak bagi kesehatan tubuh.



Ada beberapa orang, terutama anak-anak yang tidak menyukai sayuran ini karena belum mengetahui apakah manfaat wortel yang sangat kaya vitamin. Oke, mari kita lihat sejauh mana wortel memberi manfaat bagi tubuh. Menurut Dr Win Johanes MS SpGK dari Medigreen. Kandungan dalam 122 gr atau secangkir jus wortel terdapat vitamin A sebanyak 34, 317, 40 mg, beta karoten 16,678 mcg, vitamin C 11,35 mg, folat 17,08 mcg. Vitamin K 16,10 mcg. Sedangkan gizinya, seperti kalori sebesar 52,46 kalori, protein 1,26 gram dan air 167,10 gr. Mineral pada wortel adalah fosfor, kalium dan atrium yang cukup tinggi.



Selama ini orang mengenal wortel hanya untuk kesehatan mata karena kandungan vitamin A-nya yang sangat tinggi. Wortel diyakini bisa mengurangi minus, plus dan silinder pada mata Anda. Ternyata itu Cuma mitos. Menurut penelitian ilmiah, wortel memang mengandung banyak vitamin A. Namun kesalahan sistem optik pada mata tidak bisa diperbaiki dengan vitamin A. Ibarat kamera yang lensanya sudah tidak fokus. Film dari merek berkualitas pun akan merekam gambar yang buram jika lensanya tidak sempurna. “Memang sumber vitamin A. Namun kesalahan sistem optik pada mata tidak bisa diperbaiki dengan vitamin A. Ibarat kamera yang lensanya sudah tidak fokus. Film dari merek berkualitas pun akan merekam gambar yang buram jika lensanya tidak sempurna. “Memang sumber vitamin A itu baik untuk penglihatan malam hari. Vitamin A ke retina memproduksi rhodopsi (pigmen ungu) pada mata khusus untuk penglihatan malam. Vitamin A akan mengurangi penuaan dari macula mata dan mencegah katarak pada orang tua,” terang dokter gizi yang juga praktek di RS Ridwan.



Cegah Stroke



Usut punya usut, wortel punya khasiat lebih dari sekadar bagi kesehatan mata. Salah satunya adalah dapat mencegah stroke. Orang yang terkena stroke, jika banyak mengonsumsi Vitamin A, akan mengalami lebih sedikit kerusakan neurologis (saraf) dan mempunyai kesempatan untuk sembuh. Hal ini disebabkan karena waktu otak tidak memperoleh oksigen berapa lama, seperti pada stroke, sel mulai mengalami malfungsi (gangguan fungsi) yang menyebabkan rangkaian kejadian mencapai puncaknya ketika pada sel-sel saraf terjadi kerusakan oksidatif, dan kondisi tersebut dapat diredam jika dalam darah banyak terdapat vitamin A.



Sebuah penelitian menunjukkan, mengonsumsi wortel sedikitnya lima kali dalam seminggu dapat menurunkan risiko terkena stroke. Khasiat antistroke tersebut juga ditimbulkan karena aktivitas beta karoten yang mencegah terjadinya plak atau timbunan kolesterol dalam pembuluh darah. Beta karoten merupakan pigmen paling aktif apabila dibandingkan dengan alpha dan gamma karoten. Biasanya beta karoten lebih dikenal sebagai provitamin A yang pada dinding usus halus. “Karena wortel itu tidak mengandung kolesterol. Ada serat yang bisa mengurangi lemak dalam darah. Dia juga bisa sebagai anti oksigen. Lemak yang teroksidasi di pembuluh darah yang akan membuat stroke, memang bisa mencegah stroke kalau dia mengonsumsi wortel yang anti oksidan dan seratnya tinggi,” ungkapnya.



Tak ada seorangpun yang mau terkena stroke dan tak seorang pun yang ingin mati muda. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Lantas tunggu apalagi, wortel yang kita kenal sebagai sayuran bisa menjauhkan kita dari stroke. Wortel itu juga digunakan sebagai detox dan antioksidan yang sangat baik. “Untuk jantung, ada penelitian di Massuchusetts pada 1300 lansia ada yang diberi satu porsi sehari. Tiap hari diberikan pada sekelompok lansia sebanyak 122 gr. Ternyata, risiko serangan jantungnya berkurang 60 persen dibanding yang tidak,” bebernya.



Satu cangkir wortel (16,679 mcg) mengandung banyak beta karoten bisa menurunkan risiko terkena berbagai penyakit kanker. Satu cangkir dapat mengurangi 20 persen kanker payudara pasca menopause, dan bisa menekan sebanyak 50 persen kanker kandung kemih, juga 50persen kanker paru-paru jika kita mengonsumsinya. Wortel pun menurut Dr Win baik untuk mencegah diabetes. “Berbanding terbalik dengan resistensi insulin, bisa mencegah diabetes. Dia berbanding terbalik artinya jika dia makan wortel resistensi berkurang, kalau enggak makan naik,” pungkasnya. Dari penelitian Journal of Agricultural pada Ford Chemistry kandungan fulcarinoid yang dimiliki wortel bisa menurunkan risiko kanker usus besar.



Wortel untuk Perokok


Dr. Win juga mempublikasikan bahwa di dalam asap rokok ada satu bensopyrine yang menyebabkan status vitamin A dalam tubuh seseorang menurun. Sehingga, menimbulkan kanker dan pembengkakan pada paru-paru. Karena itu, perokok sangat baik mengonsumsi wortel agar vitamin A di dalam tubuhnya meningkat. “Ternyata untuk orang merokok ini dikasih wortel yang banyak akan membuat vitamin A menjadi meningkat dalam tubuh,” lanjutnya.



Jadi, seperti apa wortel yang baik? Nah, untuk memperoleh manfaat wortel secara maksimal yang harus diperhatikan adalah jeli dalam memlih wortel. Pilih wortel yang berwarna agak muda dan terang. Ini menandakan bahwa wortel tersebut masih muda dan segar. Menurutnya, wortel yang lurus jadi jangan bengkok dan hindari yang bercabang, juga retak dan lemes. Warna cerah, semakin orange semakin baik mutu wortel. “Wortel itu lebih bagus direbus, karena dia punya sel itu dindingnya tebel kalau direbus jadi beta karotin sangat baik untuk diserap oleh tubuh. Dari pada dimakan langsung mentah,” tegasnya.



Bagaimana kalau wortel yang kita konsumsi berlebihan? Akan timbul tanda-tanda telapak kanan yang menjadi orange-kekuningan. Lebih baik berhenti mengonsumsinya. Warna pada telapak tangan itu akan hilang dengan sendirinya. “Kalau makan kebanyakan karotinnya akan menumpuk dibawah kulit, terutama di telapak tangan. Lama-lama karotin akan diproses dalam hati menjadi vitamin A. Kalau sudah hilang boleh mekan lagi,” terangnya.



Untuk kecantikan, wortel sangat baik karena bisa membuat kulit menjadi lebih halus. Mengonsumsi wortel juga bisa mengurangi jerawat. “Mengonsumsi wortel kita bisa mencegah fahcular hyperkeralosis orang yang kulitnya bintik-bintik kasar bisa dihindari bisa membuat jadi halus. Jerawat juga bisa hilang,” paparnya.

Penyakit AVID Pada Anak

Maraknya akibat budaya kekerasan yang diberitakan beberapa media, merupakan suatu hal yang cukup memprihatinkan. Dimulai dari tindakan anarkis yang tidak bertanggungjawab, munculnya geng motor, geng sekolah dan lain sebagainya. Namun masyarakat tidak sadar, bahwa munculnya tindakan kekerasan tidak hanya menimbulkan korban luka-luka atau meninggal, tapi juga merupakan jejak terjadinya degenerasi moral, terutama, dominannya sifat seorang pengecut, tidak peka terhadap orang lain dan tidak mampu terharu.

Seorang mantan guru besar psikologi di West Point, akademi militer AS, Letnan Kolonel David Grossman, mencetuskan penyakit baru yaitu AVID (Acquired Violence Immune Deficiency/Penurunan Kekebalan Terhadap Kekerasan). Grossman adalah pensiunan tentara pakar desentisisasi (hilangnya kepekaan perasaan) yang melatih prajurit agar mereka lebih efisien dalam membunuh. Pendapat Grossman juga patut dicermati karena ia juga penulis buku On Killing: The Psychological Cost of Learning to Kill in War and Society. Penyakit AVID tidak hanya menyerang orang dewasa, namun fakta menyebutkan anak-anak lebih rentan terhadap penyakit ini. Penyebab penyakit AVID, sebagaimana terjadi di AS adalah pembiasaan terhadap kekerasan. Pembiasaan ini terutama dilakukan oleh media. Masyarakat, terutama anak-anak mulai terbiasa melihat kekerasan yang kerap dilihat dalam film, sinetron, bahkan juga berita. Bahkan permainan video game yang paling baru lebih banyak didominasi oleh video game kekerasan atau (violent video game). Dalam industri media, tentu saja kata “kekerasan” tidak akan kita jumpai dengan mudah. Industri lebih suka menyebutkan dengan “action” atau “laga”. Eufimisme semacam ini, menyebabkan masyarakat dengan ramah menerima semua produk industri begitu saja. Padahal kekerasan dalam film, sinetron bahkan video game, bukan saja kekerasan dalam bentuk visual, tetapi juga verbal atau bahasa. Maraknya kebencian yang mendalam seorang tokoh pada tokoh lain, dan caci maki kebencian yang begitu mudah keluar dari seorang tokoh, merupakan salah satu kekerasan yang diperhalus sedemikian rupa. Seorang produser tv di tabloid infontaiment berkata, bahwa menghilangkan aksi action atau laga, merupakan hal yang mustahil. Dia berkata, bahwa film kartun Tom and Jerry saja mengandung aksi kekerasan. Tentu saja produser itu benar. Tetapi apabila hal tersebut dijadikan alasan untuk menanyangkan film action begitu saja, maka alasan tersebut sangatlah bodoh.Banyaknya media berisi kekerasan yang mengepung anak-anak kita, menyebabkan terbiasanya anak-anak pada adegan kekerasan, darah yang mengucur dimana-mana, dendam kesumat dan juga caci-maki. Sedangkan orangtua akan sedikit lengah mengawasi anak-anak dari pembiasan kekerasan karena telah terjadi penghalusan kata “kekerasan” yang tampak negatif menjadi “action atau laga” yang tampak lebih positif. Pun dominannnya video game yang mengumpulkan point dari banyaknya memukul, atau dengan kata lain, yang paling kejam yang menang, menyebabkan hal tersebu tampak biasa. Padahal dalam video game, anak tidak pernah dijelaskan apa alasan memukul lawan main. Yang mereka tahu, bahwa pelaku adalah jagoan yang benar, dan orang lain salah.Akibatnya, anak akan kehilangan rasa sensitif terhadap kekerasan. Efek desentialisasi akan nampak dari anak yang melihat tayangan yang kurang menampilkan kekerasan, akan menggangap tayangan tersebut kurang seru. Semakin sering mereka menonton tayangan kekerasan, termasuk dalam sinetron, semakin mereka terbiasa dengan hal-hal tersebut. Ingin bukti lebih ilmiah? Anda boleh buktikan sendiri. Menurut penelitian, hanya butuh waktu 10 menit bagi anak untuk bisa mengikuti kekerasan baik secara verbal maupun tindakan, atau bahkan keduanya. Parahnya, banyak orangtua yang melimpahkan semua tanggungjawab pada anak. Seperti yang terjadi pada sepupu saya. Ketika seorang adik sepupu saya berusia 3 tahun, orangtua-nya sibuk bekerja. Sehingga adik saya, atau sebut saja syarif, dititipkan pada nenek-nya. Oleh sang nenek, karena sang nenek sudah tua (ya iyalah, namanya nenek pasti tua), maksud saya tidak mau repot, syarif disetelkan film kartun Tom and Jerry. Dan saat nonton dia serius sekali. Dengan dalih, itu adalah kesukaan anak,akhirnya syarif sering sekali disetelkan kartun dalam VCD bajakan tersebut. Padahal kalau lebih jujur, Syarif disetelkan tontonan tersebut saat dia rewel, alias untuk mendiamkan adik sepupu saya. Ditambah pengasuh si syarif juga orang yang galak, dan sering sekali teriak-teriak padanya. Sekarang syarif berusia 4 tahun. Dan dalam usia tersebut, saat dia memiliki adik baru, dia pernah berkata,”bapak pulang gendong dede, ibu pulang juga gendong dede. Nanti dede aku hancurin lho”. Dan itu bukan sekedar kata-kata, karena ketika ibu-nya lengah, Syarif tidak segan-segan menggendong adiknya, yang berusia 3 bulan, dari kamar ke ruang tamu seperti seekor kucing menggendong anaknya. Dan si syarif selalu berkata, “aku tikus, dan yang lain kucing”. Akhirnya di usia 4 tahun, kami mengajak Syarif ke psikiater. Dan oleh sang psikiater Syarif diberi terapi untuk mengurangi kesenangannya melihat orang lain menderita, seperti si Jerry terhadap Tom, dalam kartun Tom and Jerry.Jadi jangan salahkan apabila anggota keluarga kita menjadi tidak peka dan tidak memiliki rasa empati terhadap sekitar. Karena, bukan semata-mata karakter dari mereka saja, tetapi mungkin, andil dari kita, karena kita tidak memfilter apa yang kita tonton.

Ibu, sampai kapan kita menonton sembarang sinetron? Apakah menunggu anak kita terserang AVID ? Tapi yang pasti, jangan sampai kita sadar, ketika anggota keluarga kita menjadi korban para penderita AVID.

Sumber: Majalah Ummi edisi 2006

Rabies

Rabies
adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. [1] Penyakit ini bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia. [1] Virus rabies ditularkan ke manusia melalu gigitan hewan misalnya oleh anjing, kucing, kera, rakun, dan kelelawar. [1] Rabies disebut juga penyakit anjing gila. [2]
Etimologi
Kata rabies berasal dari bahasa Sansekerta kuno rabhas yang artinya melakukan kekerasan/kejahatan.[3] Dalam bahasa Yunani, rabies disebut Lyssa atau Lytaa yang artinya kegilaan. [3] Dalam bahasa Jerman, rabies disebut tollwut yang berasal dari bahasa Indojerman Dhvar yang artinya merusak dan wut yang artinya marah. [3] Dalam bahasa Prancis, rabies disebut rage berasal dari kata benda robere yang artinya menjadi gila.[3]
Sejarah
Rabies bukanlah penyakit baru dalam sejarah perabadan manusia. [4] Catatan tertulis mengenai perilaku anjing yang tiba-tiba menjadi buas ditemukan pada Kode Mesopotamia yang ditulis 4000 tahun lalu serta pada Kode Babilonia Eshunna yang ditulis pada 2300 SM.[4] Democritus pada 500 SM juga menuliskan karakteristik gejala penyakit yang menyerupai rabies.[2]
Aristotle, pada 400 SM, menulis di Natural History of Animals edisi 8, bab 22 [5]
“ .... anjing itu menjadi gila. Hal ini menyebabkan mereka menjadi agresif dan semua binatang yang digigitnya juga mengalami sakit yang sama.

Hippocrates, Plutarch, Xenophon, Epimarcus, Virgil, Horace, dan Ovid adalah orang-orang yang pernah menyinggung karakteristik rabies dalam tulisan-tulisannya. [5] Celsius, seorang dokter di zaman Romawi, mengasosiasikan hidrofobia (ketakutan terhadap air) dengan gigitan anjing, di tahun 100 Masehi. [4] Cardanus, seorang penulis zaman Romawi menjelaskan sifat infeksi yang ada di air liur anjing yang terkena rabies.[5] Pada penulis Romawi zaman itu mendeskripsikan rabies sebagai racun, yang mana adalah kata Latin bagi virus. [5] Pliny dan Ovid adalah orang yang pertama menjelaskan penyebab lain dari rabies, yang saat itu disebut cacing lidah anjing (dog tongue worm).[5] Untuk mencegah rabies di masa itu, permukaan lidah yang diduga mengandung "cacing" dipotong. [5] Anggapan tersebut bertahan sampai abad 19, ketika akhirnya Louis Pasteur berhasil mendemonstrasikan penyebaran rabies dengan menumbuhkan jaringan otak yang terinfeksi di tahun 1885 [5] Goldwasser dan Kissling menemukan cara diagnosis rabies secara modern pada tahun 1958, yaitu dengan teknik antibodi imunofluoresens untuk menemukan antigen rabies pada jaringan.[4]
Penyebab
Rabies disebabkan oleh virus rabies yang masuk ke keluarga Rhabdoviridae dan genus Lysavirus. [6] Karakteristik utama virus keluarga Rhabdoviridae adalah hanya memiliki satu utas negatif RNA yang tidak bersegmen. [6] Virus ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan sebagai perantara penularan. [7] Spesies hewan perantara bervariasi pada berbagai letak geografis. [7] Hewan-hewan yang diketahui dapat menjadi perantara rabies antara lain rakun (Procyon lotor) dan sigung (Memphitis memphitis) di Amerika Utara, rubah merah (Vulpes vulpes) di Eropa, dan anjing di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Afrika, Asia, dan Amerika Latin memiliki tingkat rabies yang masih tinggi [7] Hewan perantara menginfeksi inang yang bisa berupa hewan lain atau manusia melalui gigitan. [2][1] Infeksi juga dapat terjadi melalui jilatan hewan perantara pada kulit yang terluka. [2][1] Setelah infeksi, virus akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke sumsum tulang belakang dan otak dan bereplikasi di sana. [2] Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf ke jaringan non saraf, misalnya kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur. [2] Hewan yang terinfeksi bisa mengalami rabies buas/ ganas ataupun rabies jinak/ tenang. [8] [9] Pada rabies buas/ ganas, hewan yang terinfeksi tampak galak, agresif, menggigit dan menelan segala macam barang, air liur terus menetes, meraung-raung gelisah kemudian menjadi lumpuh dan mati. [8][9] Pada rabies jinak/tenang, hewan yang terinfeksi mengalami kelumpuhan lokal atau kelumpuhan total, suka bersembunyi di tempat gelap, mengalami kejang dan sulit bernapas, serta menunjukkan kegalakan [8][9]
Meskipun sangat jarang terjadi, rabies bisa ditularkan melalui penghirupan udara yang tercemar virus rabies. [10] Dua pekerja laboratorium telah mengkonfirmasi hal ini setelah mereka terekspos udara yang mengandung virus rabies. [10] Pada tahun 1950, dilaporkan dua kasus rabies terjadi pada penjelajah gua di Frio Cave, Texas yang menghirup udara di mana ada jutaan kelelawar hidup di tempat tersebut. [10] Mereka diduga tertular lewat udara karena tidak ditemukan sama sekali adanya tanda-tanda bekas gigitan kelelawar. [10]
Manifestasi Klinis

inkubasi virus hingga munculnya penyakit adalah 10-14 hari pada anjing tetapi bisa mencapai 9 bulan pada manusia [1] Bila disebabkan oleh gigitan anjing, luka yang memiliki risiko tinggi meliputi infeksi pada mukosa, luka di atas daerah bahu (kepala, muka, leher), luka pada jari tangan atau kaki, luka pada kelamin, luka yang lebar atau dalam, dan luka yang banyak. [9] Sedangkan luka dengan risiko rendah meliputi jilatan pada kulit yang luka, garukan atau lecet, serta luka kecil di sekitar tangan, badan, dan kaki. [9]
Gejala sakit yang akan dialami seseorang yang terinfeksi rabies meliputi 4 stadium: [9]

Stadium prodromal
Dalam stadium prodomal sakit yang timbul pada penderita tidak khas, menyerupai infeksi virus pada umumnya yang meliputi demam, sulit makan yang menuju taraf anoreksia, pusing dan pening (nausea), dan lain sebagainya. [9]
Stadium sensoris
Dalam stadium sensori penderita umumnya akan mengalami rasa nyeri pada daerah luka gigitan, panas, gugup, kebingungan, keluar banyak air liur (hipersalivasi), dilatasi pupil, hiperhidrosis, hiperlakrimasi.[9]
Stadium eksitasi
Pada stadium eksitasi penderita menjadi gelisah, mudah kaget, kejang-kejang setiap ada rangsangan dari luar sehingga terjadi ketakutan pada udara (aerofobia), ketakutan pada cahaya (fotofobia), dan ketakutan air (hidrofobia).[9] Kejang-kejang terjadi akibat adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses menelan dan pernapasan. [8] Hidrofobia yang terjadi pada penderita rabies terutama karena adanya rasa sakit yang luar biasa di kala berusaha menelan air [8]
Stadium paralitik
Pada stadium paralitik setelah melalui ketiga stadium sebelumnya, penderita memasuki stadium paralitik ini menunjukkan tanda kelumpuhan dari bagian atas tubuh ke bawah yang progresif. [9]
Karena durasi penyebaran penyakit yang cukup cepat maka umumnya keempat stadium di atas tidak dapat dibedakan dengan jelas. [9] Gejala-gejala yang tampak jelas pada penderita di antaranya adanya nyeri pada luka bekas gigitan dan ketakutan pada air, udara, dan cahaya, serta suara yang keras. [9] Sedangkan pada hewan yang terinfeksi, gelaja yang tampak adalah dari jinak menjadi ganas, hewan-hewan peliharaan menjadi liar dan lupa jalan pulang, serta ekor dilengkungkan di bawah perut. [9]
Diagnosis
Jika seseorang digigit hewan, maka hewan yang menggigit harus diawasi. [12] Satu-satunya uji yang menghasilkan keakuratan 100% terhadap adanya virus rabies adalah dengan uji antibodi fluoresensi langsung (direct fluorescent antibody test/ dFAT) pada jaringan otak hewan yang terinfeksi. [12] Uji ini telah digunakan lebih dari 40 tahun dan dijadikan standar dalam diagnosis rabies. [12][13] Prinsipnya adalah ikatan antara antigen rabies dan antibodi spesifik yang telah dilabel dengan senyawa fluoresens yang akan berpendar sehingga memudahkan deteksi [12] Namun, kelemahannya adalah subjek uji harus disuntik mati terlebih dahulu (eutanasia) sehingga tidak dapat digunakan terhadap manusia. [12] Akan tetapi, uji serupa tetap dapat dilakukan menggunakan serum, cairan sumsum tulang belakang, atau air liur penderita walaupun tidak memberikan keakuratan 100%. [12] Selain itu, diagnosis dapat juga dilakukan dengan biopsi kulit leher atau sel epitel kornea mata walaupun hasilnya tidak terlalu tepat sehingga nantinya akan dilakukan kembali post mortem diagnosis setelah hewan atau manusia yang terinfeksi meninggal. [13]

Penanganan
Bila terinfeksi rabies, segera cari pertolongan medis. [14] Rabies dapat diobati, namun harus dilakukan sedini mungkin sebelum menginfeksi otak dan menimbulkan gejala.[14][11] Bila gejala mulai terlihat, tidak ada pengobatan untuk menyembuhkan penyakit ini. [14] Kematian biasanya terjadi beberapa hari setelah terjadinya gejala pertama.[14]
Jika terjadi kasus gigitan oleh hewan yang diduga terinfeksi rabies atau berpotensi rabies (anjing, sigung, rakun, rubah, kelelawar) segera cuci luka dengan sabun atau pelarut lemak lain di bawah air mengalir selama 10-15 menit lalu beri antiseptik alkohol 70% atau betadin. [9] Orang-orang yang belum diimunisasi selama 10 tahun terakhir akan diberikan suntikan tetanus. [15] Orang-orang yang belum pernah mendapat vaksin rabies akan diberikan suntikan globulin imun rabies yang dikombinasikan dengan vaksin. [15] Separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan dan separuhnya disuntikan ke otot, biasanya di daerah pinggang. [11] Dalam periode 28 hari diberikan 5 kali suntikan. [11] Suntikan pertama untuk menentukan risiko adanya virus rabies akibat bekas gigitan.[11] Sisa suntikan diberikan pada hari ke 3, 7, 14, dan 28.[11] Kadang-kadang terjadi rasa sakit, kemerahan, bengkak, atau gatal pada tempat penyuntikan vaksin. [15]
Pencegahan
Pencegahan rabies pada manusia harus dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi gigitan oleh hewan yang berpotensi rabies, karena bila tidak dapat mematikan (letal) [1]
Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau segera setelah terkena gigitan [7] Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada orang-orang yang berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu: [16]
• Dokter hewan. [16]
• Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi. [16]
• Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang rabies pada anjing banyak ditemukan [7]
• Para penjelajah gua kelelawar. [10]
Vaksinasi idealnya dapat memberikan perlindungan seumur hidup. [17] Tetapi seiring berjalannya waktu kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap rabies harus mendapatkan dosis booster vaksinasi setiap 3 tahun. [1] Pentingnya vaksinasi rabies terhadap hewan peliharaan seperti anjing juga merupakan salah satu cara pencegahan yang harus diperhatikan. [11]

Rabies (engglish)

Rabies

Key facts

* Rabies occurs in more than 150 countries and territories.
* Worldwide, more than 55 000 people die of rabies every year.
* 40% of people who are bitten by suspect rabid animals are children under 15 years of age.
* Dogs are the source of 99% of human rabies deaths.
* Wound cleansing and immunization within a few hours after contact with a suspect rabid animal can prevent the onset of rabies and death.
* Every year, more than 15 million people worldwide receive a post-exposure preventive regimen to avert the disease – this is estimated to prevent 327 000 rabies deaths annually.

Rabies is a zoonotic disease (a disease that is transmitted to humans from animals) that is caused by a virus. The disease infects domestic and wild animals, and is spread to people through close contact with infected saliva via bites or scratches.

Rabies is present on all continents with the exception of Antartica, but more than 95% of human deaths occur in Asia and Africa. Once symptoms of the disease develop, rabies is nearly always fatal.

Related links

:: More on rabies

:: WHO Expert Consultation on Rabies: first report, 2005 [pdf 514kb]
Symptoms

The incubation period for rabies is typically 1–3 months, but may vary from <1 week to >1 year. The initial symptoms of rabies are fever and often pain or an unusual or unexplained tingling, pricking or burning sensation (paraesthesia) at the wound site.

As the virus spreads through the central nervous system, progressive, fatal inflammation of the brain and spinal cord develops.

Two forms of the disease can follow. People with furious rabies exhibit signs of hyperactivity, excited behaviour, hydrophobia and sometimes aerophobia. After a few days, death occurs by cardio-respiratory arrest.

Paralytic rabies accounts for about 30% of the total number of human cases. This form of rabies runs a less dramatic and usually longer course than the furious form. The muscles gradually become paralyzed, starting at the site of the bite or scratch. A coma slowly develops, and eventually death occurs. The paralytic form of rabies is often misdiagnosed, contributing to the underreporting of the disease.
Diagnosis

No tests are available to diagnose rabies infection in humans before the onset of clinical disease, and unless the rabies-specific signs of hydrophobia or aerophobia are present, the clinical diagnosis may be difficult. Post mortem, the standard diagnostic technique is to detect rabies virus antigen in brain tissue by fluorescent antibody test.
Transmission

People are infected through the skin following a bite or scratch by an infected animal. Dogs are the main host and transmitter of rabies. They are the source of infection in all of the estimated 55 000 human rabies deaths annually in Asia and Africa.

Bats are the source of most human rabies deaths in the United States of America and Canada. Bat rabies has also recently emerged as a public health threat in Australia, Latin America and western Europe. Human deaths following exposure to foxes, raccoons, skunks, jackals, mongooses and other wild carnivore host species are very rare.

Transmission can also occur when infectious material – usually saliva – comes into direct contact with human mucosa or fresh skin wounds. Human-to-human transmission by bite is theoretically possible but has never been confirmed.

Rarely, rabies may be contracted by inhalation of virus-containing aerosol or via transplantation of an infected organ. Ingestion of raw meat or other tissues from animals infected with rabies is not a source of human infection.
Treatment after exposure

Effective treatment soon (within a few days, but as soon as possible) after exposure to rabies can prevent the onset of symptoms and death.

Post-exposure prevention consists of local treatment of the wound, administration of rabies immunoglobulin (if indicated), and immediate vaccination.
Local treatment of the wound

Removing the rabies virus at the site of the infection by chemical or physical means is an effective means of protection. Therefore, prompt local treatment of all bite wounds and scratches that may be contaminated with rabies virus is important. Recommended first-aid procedures include immediate and thorough flushing and washing of the wound for a minimum of 15 minutes with soap and water, detergent, povidone iodine or other substances that kill the rabies virus.
Recommended treatment

The recommended post-exposure prophylaxis depends on the type of contact with the suspected rabid animal (see table).

Table: Recommended post-exposure prophylaxis for rabies infection

Category of exposure to suspect rabid animal Post-exposure measures
Category I – touching or feeding animals, licks on intact skin (i.e. no exposure) None
Category II – nibbling of uncovered skin, minor scratches or abrasions without bleeding Immediate vaccination and local treatment of the wound
Category III – single or multiple transdermal bites or scratches, licks on broken skin; contamination of mucous membrane with saliva from licks, exposures to bats. Immediate vaccination and administration of rabies immunoglobulin; local treatment of the wound

Other factors that should be taken into consideration when deciding whether to initiate post-exposure prevention include:

* the likelihood of the implicated animal being rabid
* the clinical features of the animal and its availability for observation and laboratory testing.

In developing countries, the vaccination status of the suspected animal alone should not be considered when deciding whether to initiate prophylaxis or not.
Who is most at risk?

Dog rabies potentially threatens over 3.3 billion people in Asia and Africa. People most at risk live in rural areas where human vaccines and immunoglobulin are not readily available or accessible.

Poor people are at a higher risk, as the average cost of rabies post-exposure prophylaxis after contact with a suspected rabid animal is US$ 40 in Africa and US$ 49 in Asia, where the average daily income is about US$ 1–2 per person. In India, 20 000 rabies deaths (that is, about 2/100 000 population at risk) are estimated to occur annually; in Africa, the corresponding figure is 24 000 (about 4/100 000 population at risk).

Although all age groups are susceptible, rabies is most common in children aged under 15; on average 40 % of post-exposure prophylaxis regimens are given to children aged 5–14 years, and the majority are male.

Anyone in continual, frequent or increased danger of exposure to rabies virus – either by nature of their residence or occupation – is also at risk. Travellers with extensive outdoor exposure in rural high-risk areas where immediate access to appropriate medical care may be limited should be considered at risk regardless of duration of their stay. Children living in or visiting rabies-affected areas are at particular risk.
Prevention
Eliminating rabies in dogs

Rabies is a vaccine-preventable disease. The most cost-effective strategy for preventing rabies in people is by eliminating rabies in dogs through vaccination. Vaccination of animals (mostly dogs) has reduced the number of human (and animal) rabies cases in several countries, particularly in Latin America. However, recent increases in human rabies deaths in parts of Africa, Asia and Latin America suggest that rabies is re-emerging as a serious public health issue.

Preventing human rabies through control of domestic dog rabies is a realistic goal for large parts of Africa and Asia, and is justified financially by the future savings of discontinuing post-exposure prophylaxis for people.
Preventive immunization in people

Safe, effective vaccines also exist for human use. Pre-exposure immunization in people is recommended for travellers to high-risk areas in rabies-affected countries, and for people in certain high-risk occupations such as laboratory workers dealing with live rabies virus and other lyssaviruses, and veterinarians and animal handlers in rabies-affected areas. As children are at particular risk, their immunization could be considered if living in or visiting high risk areas.
WHO response

WHO promotes wider access to appropriate post-exposure treatment using modern tissue culture or avian embryo-derived rabies vaccines through:

* use of the multi-site intradermal regimen to reduce the cost of post-exposure treatments;
* increased production of safe and efficacious rabies biologicals, which are in critical short supply globally, particularly rabies immunoglobulin;
* continuing education of health and veterinary professionals in rabies prevention and control; and
* immunization of 70% of the dog population to stop circulation of the virus at source.

Selasa, 08 Juni 2010

Flu Singapura (HFMD)

flu singapura atau penyakit HFMD (hand foot mouth desease)karena menyerang bagian tersebut yang sering dalam bahasa indonesia KTM (kaki tangan dan mulut). penyakit ini disebabkan oleh virus rna yang masuk dalam famili Picornaviridae (Pico, Spanyol = kecil ), Genus Enterovirus ( non Polio ). Genus yang lain adalah Rhinovirus, Cardiovirus, Apthovirus. Didalam Genus enterovirus terdiri dari Coxsackie A virus, Coxsackie B virus, Echovirus dan Enterovirus.
Penyebab KTM yang paling sering pada pasien rawat jalan adalah Coxsackie A16, sedangkan yang sering memerlukan perawatan karena keadaannya lebih berat atau ada komplikasi sampai meninggal adalah Enterovirus 71. Berbagai enterovirus dapat menyebabkan berbagai penyakit.

epidemologi :

Penyakit ini biasanya terjadi pada musim panas ,dan sering terjadi pada masyarakat yang crowded atau padat dan menyerang anak yang berusia 2 minggu sampai 5 tahun bahkna bisa menyerang anak usia 10 tahun.
Orang dewasa umumnya kebal terhadap enterovirus. Penularannya melalui kontak langsung dari orang ke orang yaitu melalui droplet, pilek, air liur (oro-oro), tinja, cairan dari vesikel atau ekskreta. Penularan kontak tidak langsung melalui barang, handuk, baju, peralatan makanan, dan mainan yang terkontaminasi oleh sekresi itu. Tidak ada vektor tetapi ada pembawa (carrier) seperti lalat dan kecoa. Penyakit KTM ini mempunyai imunitas spesifik, namun anak dapat terkena KTM lagi oleh virus strain Enterovirus lainnya. Masa Inkubasi 2 - 5 hari.

Gambaran Klinis :

Mula-mula demam tidak tinggi 2-3 hari, diikuti sakit leher (pharingitis), tidak ada nafsu makan, pilek, gejala seperti ?flu? pada umumnya yang tak mematikan. Timbul vesikel yang kemudian pecah, ada 3-10 ulcus dumulut seperti sariawan ( lidah, gusi, pipi sebelah dalam ) terasa nyeri sehingga sukar untuk menelan.
Bersamaan dengan itu timbul rash/ruam atau vesikel (lepuh kemerahan/blister yang kecil dan rata), papulovesikel yang tidak gatal ditelapak tangan dan kaki.
Kadang-kadang rash/ruam (makulopapel) ada dibokong. Penyakit ini membaik sendiri dalam 7-10 hari.
Bila ada muntah, diare atau dehidrasi dan lemah atau komplikasi lain maka penderita tersebut harus dirawat. Pada bayi/anak-anak muda yang timbul gejala berat , harus dirujuk kerumah sakit sebagai berikut :

o Hiperpireksia ( suhu lebih dari 39 der. C).
o Demam tidak turun-turun (Prolonged Fever)
o Tachicardia.
o Tachypneu
o Malas makan, muntah atau diare dengan dehidrasi.
o Lethargi
o Nyeri pada leher,lengan dan kaki.
o Serta kejang-kejang.

Komplikasi penyakit ini adalah :

o Meningitis (aseptic meningitis, meningitis serosa/non bakterial)
o Encephalitis ( bulbar )
o Myocarditis (Coxsackie Virus Carditis) atau pericarditis
o Paralisis akut flaksid (Polio-like illness )


TATALAKSANA :
o Istirahat yang cukup
o Pengobatan spesifik tidak ada.
o Dapat diberikan :
Immunoglobulin IV (IGIV), pada pasien imunokompromis atau neonatus

Extracorporeal membrane oxygenation.

o Pengobatan simptomatik :
Antiseptik didaerah mulut Analgesik misal parasetamol Cairan cukup untuk dehidrasi yang disebabkan sulit minum dan karena demam Pengobatan suportif lainnya ( gizi dll )
Penyakit ini adalah ?self limiting diseases? ( berobat jalan ) yang sembuh dalam 7-10 hari, pasien perlu istirahat karena daya tahan tubuh menurun. Pasien yang dirawat adalah yang dengan gejala berat dan komplikasi tersebut diatas.

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT:

Penyakit ini sering terjadi pada masyarakat dengan sanitasi yang kurang baik. Pencegahan penyakit adalah dengan menghilangkan ?Overcrowding?, kebersihan (Higiene dan Sanitasi). Lingkungan dan perorangan misal cuci tangan, desinfeksi peralatan makanan, mainan, handuk yang memungkinkan terkontaminasi.
Bila perlu anak tidak bersekolah selama satu minggu setelah timbul rash sampai panas hilang. Pasien sebenarnya tak perlu diasingkan karena ekskresi virus tetap berlangsung beberapa minggu setelah gejala hilang, yang penting menjaga kebersihan perorangan.
Di Rumah sakit ? Universal Precaution? harus dilaksanakan.
Penyakit ini belum dapat dicegah dengan vaksin (Imunisasi)

Sponsor